Jumat, 27 Januari 2012

JERUSSALEM... PERNAH JADI SAKSI TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA YANG TERBAIK DI DUNIA

Ketika kita melihat Jerussalem sekarang, pasti dalam benak kita keadaan itu telah terjadi sebagai kelanjutan dari konflik masa lalu.. Namun jika kita melihat sejarah, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Pada abad 7 dan beberapa abad sesudahnya, Jerussalem justru memberikan contoh toleransi antar agama yang TERBAIK. Setidaknya sejak Muslim memimpin dan melindungi kota ini.

Umat Islam dibawah pimpinan Umar ibn Khattab ra mengambil alih kekuasaan Jerussalem dari penguasa Byzantium pada bulan Februari 638 M. Mungkin karena terkenal wibawa dan watak kerasnya Umar ra memasuki kota itu tanpa peperangan. Begitu Umar datang, Patriarch Sophronius, penguasa Jerussalem saat itu, segera “menyerahkan kunci” kota.

Suatu saat, ketika Umar bersama Sophronius menginspeksi gereja tua itu ia ditawari shalat di dalam gereja. Bagaimana sikap Umar kemudian ??? Setujukah beliau sholat didalam gereja itu sebagai simbol toleransi ????

Ternyata tidak, beliau menolaknya dan inilah berkata: “jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka, hanya karena saya pernah shalat disitu”.

Sebagai penghargaannya atas keramahtamahan Sophronius, Umar kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Ditempat batu itu jatuh ia kemudian melakukan shalat. Mulai saat itu Umar kemudian menjamin bahwa Gereja Holy Sepulchre tidak akan diambil atau dirusak umat islam, sampai kapanpun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristiani. Itulah toleransi Umar.

Toleransi ini kemudian diabadikan Umar dalam bentuk Piagam Perdamaian. Piagam yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah itu mirip dengan piagam Madinah. Dibawah kepemimpinan Umar non-Muslim dilindungi dan diatur hak serta kewajiban mereka.

Piagam itu di antaranya berisi sebagai berikut:
- Umar amir al-mu’minin memberi jaminan perlindungan bagi nyawa, keturunan, kekayaan, gereja dan salib, dan juga bagi orang-orang yang sakit dan sehat dari semua penganut agama.
- Gereja mereka tidak akan diduduki, dirusak atau dirampas.
- Penduduk Ilia (maksudnya Jerussalem) harus membayar pajak (jizyah) sebagaimana penduduk lainnya; dan seterusnya.

Sebagai ganti perlindungan yang diberikan Khalifah Islam terhadap diri, anak cucu, harta kekayaan, dan pengikutnya Sophorinus juga menyatakan jaminannya.
- kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru dikota dan pinggiran kota kami;..
- Kami juga akan menerima musafir Muslim kerumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam…
- kami tidak akan menggunakan ucapan selamat yang digunakan Muslim;
- kami tidak akan menjual minuman keras;
- kami tidak akan memasang salib … di jalan-jalan atau di pasar-pasar milik umat Islam”. (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar b. al-Khattab Trans. Yohanan Fiedmann, Albany, 1992, p. 191)

Bukan hanya, salah satu poin dalam Piagam itu melarang Yahudi masuk ke wilayah Jerussalem. Justru Ini atas usulan Sophorinus. Namun Umar meminta ini dihapus dan Sophorinus pun setuju. Umar lalu mengundang 70 keluarga Yahudi dari Tiberias untuk tinggal di Jerussalam dan mendirikan synagogue. Konon Umar bahkan mengajak Sophorinus membersihkan synagog yang penuh dengan sampah. Itulah toleransi Umar.

Piagam Umar ternyata terus dilaksanakan dari satu khalifah ke khalifah lainnya. Umat Islam tetap menjadi juru damai antara Yahudi dan Kristen serta antara sekte-sekte dalam Kristen. Ceritanya, karena sering terjadi perselisihan antar sekte di gereja Holy Sepulchre tentara Islam diminta berjaga-jaga di dalam gereja. Sama seperti Umar, para tentara juru damai itu pun ditawari shalat dalam gereja dan juga menolak. Untuk praktisnya mereka shalat dimana Umar dulu shalat.

Di tempat itulah kemudian Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1193, membangun masjid permanen. Jadi masjid Umar inilah saksi toleransi Islam di Jerussalem.

Namun, kini Jerussalem yang damai tinggal cerita. Belum ada jalan kembali menjadi kota toleransi. Lebih-lebih makna toleransi seperti dulu sudah MATI oleh LIBERALISASI. Dan Umar maupun Sophorinus tidak mungkin akan dinobatkan menjadi “Bapak pluralisme”. Sebab menghormati agama orang lain kini tidak memenuhi syarat toleransi.

Toleransi sekarang telah ditambah maknanya menjadi menghormati dan mengimani kebenaran agama lain. Betul -betul TOLERANSI yang SALAH KAPRAH.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar